COVID-19: Pada Bumi Kita Belajar
Sebulan lebih kita telah berada di rumah. Rasanya kita sudah merasakan 'new normal' bekerja dari rumah (Work From Home-WFH). Selama dua minggu kemarin, saya sebagai Wakil Dekan memantau jalannya Ujian Tengah Semester secara online, bersama Wakil Rektor III mengurusi beberapa masalah kemahasiswaan dan sebagai dosen saya terus melaksanakan penilaian tugas dan pembimbingan mahasiswa S1 dan S2 saya. Baik melalui e-mail dan juga melalui Zoom meeting. Yang menarik adalah saya lebih kerap ke dapur daripada sebelumnya! Dan tiba-tiba saja, suami dan anak-anak lebih suka masakan saya daripada memesan makanan dan minuman secara online. Kehidupan keluarga terasa hangat, membahagiakan.
Namun, kekhawatiran menyeruak juga. Ada beberapa mahasiswa S2 saya yang tidak lagi praktik dokter, menyampaikan bahwa penghasilan agak tersendat, ada juga mahasiswa S1 yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja yang mengeluh karena ayah atau ibunya dirumahkan tanpa gaji dan keluhan lain yang intinya adalah wabah COVID-19 ini amat menyusahkan mereka secara finansial. Pemerintah Indonesia juga memutuskan tidak 'lockdown' agaknya karena mempertimbangkan ini. Mempertimbangkan aspek ekonomi. Tak semua orang dapat bekerja dari rumah.
Ramadhan kali ini juga terasa berbeda. Biasanya, awal Ramadhan ada kebiasaan sebagian besar orang Indonesia untuk berziarah ke kubur keluarga, untuk membersihkan kubur dan menyirami tanahnya dengan air bunga. Itu tak terjadi, banyak orang yang memutuskan untuk berdoa saja dari rumah bagi kedamaian arwah-arwah yang sudah berpulang. Mudik juga dilarang, padahal ini biasanya adalah puncak kemenangan puasa, berkumpul dengan saudara mara di kampung halaman.
Nilai rupiah sempat turun untuk kemudian mulai sekitar 15 ribuan lagi per satu dollar Amerika. Ya, kita semua melihat ketidakpastian. Kapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ini berakhir? Sebagian peneliti mengatakan, "Ya sampai Vaksin ditemukan". Padahal membuat Vaksin tidak bisa singkat dan tentu saja jika sudah ditemukan pun mesti diuji berkali-kali ke manusia dan uji Cohortnya memakan waktu bertahun-tahun. Apakah kita siap tetap berada di rumah, tanpa bisa piknik ke dalam dan keluar negeri selama lebih dari setahun?
Saat berrefleksi
Rasanya kita mesti memulai pemikiran-pemikiran baru di saat penuh ketidakpastian ini. Kita mesti melakukan kolaborasi. Kita manusia selama ini kerap terjerembab pada ego pribadi, ego kelompok! Bahkan di situasi di mana masyarakat miskin urban sudah berteriak kelaparan, para politikus justru memanfaatkannya untuk membuat gaduh dan mengeruhkan situasi. Hasrat meraih kekuasaan semu? Tidakkah kita berusaha sedikit saja menciptakan cahaya di kemuraman ini?
Didi Kempot almarhum telah mengajarkan pada kita bahkan di bibir kematian pun jangan lupa untuk tetap berbuat kebaikan. Tetaplah berbagi. Sebagai spesies yang diberi akal oleh Tuhan, maka seyogyanya manusia saling menolong sesamanya.
Belajar dari Bumi kita
Masa wabah ini, ketika polusi amat berkurang di seluruh permukaan bumi, spesies-spesies flora dan fauna yang sempat disebut langka, mendadak muncul kembali di hutan-hutan di Amerika Utara dan Selatan juga di Asia. Langit semakin biru di Jakarta dan sekitarnya. Bumi memilih untuk bertindak menyembuhkan duka lara selama ini, dimana selama ini dia dieksploitasi, dengan menumbuhkan semarak binatang dan tanaman yang hijau dan juga berwarna-warni.
Para pemimpin dunia sepatutnya mengambil pelajaran mengenai ini. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo bisa saja menginisiasi sebuah wawasan baru bagi pengambilan keputusan-keputusan penting di masa depan. Ya, masyarakat dunia sepatutnya memberi peluang pemimpin mereka berpikir dengan jernih, memberi mereka kepercayaan atas kebijakan-kebijakan yang diambil di masa wabah ini.
Kita kini tahu betapa lemahnya neo-liberalisme dan globalisasi, kita diminta kembali memperhatikan 'rumah' atau negara kita masing-masing. Sekarang kita tahu betapa pentingnya ketahanan pangan, betapa keniscayaan untuk memperkuat sumber pertanian kita. Betapa kemestian menjaga tanah-tanah pertanian di pedesaan. Betapa sering, kita melakukan hal-hal yang ironis. Contohnya: kita inginkan rumah-rumah dan ada juga apartemen-apartemen yang menjulang ke angkasa, lalu kita membabat hutan, perkebunan dan persawahan untuk itu. Yang tidak lucu adalah, kita ingin berlibur ke tempat-tempat yang hijau dan berhawa sejuk dengan kandungan oksigen yang melimpah. Mengapa kita tidak mulai sekarang juga di Jakarta dan sekitarnya? Mengkonservasi alam kita? Kita seharusnya tidak lagi serakah membangun kantor-kantor dan apartemen dan perumahan yang sesungguhnya lebih banyak menjadi 'investasi' daripada dihuni?!
Kebanyakan anak muda Indonesia masih suka mengidolakan hal-hal yang tak esensial dalam hidup. Mengikuti saluran-saluran youtube artis-artis yang bergaya dengan menampilkan rumah berharga puluhan miliar dan gaya hidup hedonis dan berangan-angan mendapatkan kemewahan tanpa kerja-keras. Kini, ketika ayah dan ibu mereka mesti dirumahkan, tidak mendapat tunjangan hari raya, mereka melihat kenyataan bahwa hidup mesti diperjuangkan. Didi Kempot mengatakan, apa pun yang terjadi ya harus kuat. Kalaupun kau merasa tidak kuat, ya tetap harus kuat!
Peduli Sesama
Covid-19 ini juga mengajarkan kita peduli sesama. Saya melihat di status pak Peter Gontha, mantan Duta Besar RI untuk Polandia, bagaimana beliau sengaja tetap mempekerjakan kuli-kuli bangunan dan memberi mereka makan buka dan sahur dan tetap akan memberi tunjangan hari raya. Tentu, banyak dari kita orang Indonesia melakukan hal serupa, dan percayalah tidak ada kebaikan kecil. Percayalah, kebaikan (yang mungkin dirasa kecil sekalipun) tetap akan membuat perubahan.
Kita, mulai sekarang sepatutnya merasakan bahwa COVID-19 ini juga menjadikan kita mempunyai risiko yang sama untuk tertular. Kaya atau miskin. Itu artinya sudah saatnya kita melihat sesama manusia sebagai 'equal'. Tidak ada hierarki antara kaya atau miskin. Kita sama, spesies manusia yang saling memerlukan.
Saya menuliskan ini sambil menunggu waktu berbuka. Dan ya waktu berbuka telah tiba. Saya melihat teh manis panas di meja makan, begitu nikmatnya, padahal baru melihatnya saja. Saya pamit dahulu ya. Selamat berbuka
No comments:
Post a Comment