Urusan Kebencanaan Wajib Dikolaborasikan
Pada perhelatan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) Penanggulangan Bencana tahun 2020 di Sentul-Bogor, 4 Februari 2020, Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali akan pentingnya pendekatan kolaboratif, dengan menggandeng para pemangku kepentingan terkait, baik dari sisi pemerintah maupun akademisi/peneliti, dunia usaha, masyarakat serta media (pentahelix). Prinsipnya, perlu perubahan pola pikir dalam urusan pengelolaan bencana ke arah yang lebih sigap, tepat sasaran, dan inklusif, serta merujuk pada filosofi dasar: ‘Disaster is everybody business’.
Pengarusutamaan ketangguhan bencana (disaster resilience) dalam kebijakan
Konsep ‘collaborative governance’ (tata kelola kolaboratif) secara mendasar dipengaruhi oleh policy network theory (Enroth 2013). Artinya, hal fundamental yang harus dilakukan adalah membawa ‘urusan bersama’ ini ke dalam level peraturan perundangan dan kebijakan. Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Januari 2020, telah mengelaborasi urusan kebencanaan dalam Bab 7, ‘Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim’ serta didukung oleh Bab 3 dan Bab 6. Selanjutnya, kebijakan harus diturunkan secara konsisten dan kolaboratif ke dalam RKP, Renstra dan Renja K/L, serta RKPD.
Berdasarkan Keputusan DPR RI No. 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) Rancangan Undang-undang Prioritas Tahun 2020, tertanggal 22 Januari 2020, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tercantum dalam daftar revisi UU yang diinisiasi dan disiapkan naskah akademisnya oleh Komisi VIII DPR RI. Proses penyiapan naskah akademik merupakan pintu masuk penting bagi transformasi penanggulangan bencana ke arah pendekatan yang lebih guyub dan kolaboratif. RUU harus mendapat masukan yang luas dari para pemangku kepentingan sebagaimana prinsip pentahelix sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.
Kolaborasi untuk bangsa yang tangguh
Kebencanaan meliputi kompleksitas urusan pra bencana, tanggap darurat dan pascabencana. Kompleksitas siklus dan ruang lingkup kebencanaan jelas mengamanatkan kerja bersama yang harmoni dan kolaboratif. Huxham (2000) menyatakan bahwa konsep tata kelola kolaboratif berkembang seiring meningkatnya keberagaman dan kompleksitas permasalahan yang menuntut terbangunnya jejaring kerja sama antar beragam aktor untuk mencapai tujuan bersama.
Indonesia harus bersikap terbuka terhadap jejaring kerja sama antar negara-negara di Asia Tenggara. Pertukaran informasi antar lembaga pengelola kebencanaan sudah baik dan perlu terus ditingkatkan. Bukan hanya jejaring kerja sama yang harus dibuka lebar, spektrum bidang kolaborasi yang saling terkait juga harus diperluas. Urusan kebencanaan tidak akan pernah lepas dari upaya sinergi dari perencanaan tata ruang, pelestarian lingkungan, adaptasi perubahan iklim dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), termasuk di dalamnya adalah kemiskinan perkotaan. Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana pun akan terkait erat dengan upaya peningkatan ketahanan pangan, energi, komunikasi dan pembangunan kembali permukiman dan infrastruktur publik.
Leadership dan komando yang jelas memang penting, namun meletakkan tanggung jawab kebencanaan hanya pada satu lembaga ‘superbody’ merupakan pilihan yang kurang dapat diterapkan untuk negara seluas Indonesia. Berpijak dari hal ini, berikut beberapa pekerjaan rumah yang bisa diupayakan secara kolaboratif.
Mari kolabrasi untuk negeri, berjejaring tanpa ‘tapi’.
Langkah konkret kolaborasi
Kolaborasi antar program untuk mendukung urusan kebencanaan sangatlah penting. Kementerian/lembaga (K/L) hendaknya melakukan pengarusutamaan urusan bencana dalam program dan kegiatan tahunannya. BNPB sebagai koordinator urusan kebencanaan, diharapkan dapat bekerjasama dengan BAPPENAS, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator terkait, sehingga dapat lebih berdaya dalam menggiring K/L berkontribusi secara nyata. Pengawasan implementasi urusan kebencanaan baiknya dilaporkan secara kontinyu kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Selanjutnya, pertimbangan risiko kebencanaan juga harus diacu sebagai elemen penting penentu kebijakan dan/atau pemilihan langkah-langkah mitigasi kedepannya. Hal ini terutama dalam pilihan-pilihan prioritas pembangunan, misalnya: dalam hal mitigasi bencana di daerah destinasi pariwisata super prioritas dan lokasi lainnya yang mengundang investasi tinggi, seperti IKN. Pengarusutamaan ketangguhan bencana harus jadi napas pembangunan, dan karenanya knowledge based policy harus menjadi kerangka dasar berpikir dan bertindak. Dalam kerangka kolaborasi, kerja sama dengan pusat-pusat penelitian dibawah K/L, Perguruan Tinggi (PT) dan lembaga riset Independent harus semakin intensif. Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) harus menjadi hub yang merangkul banyak pihak untuk menerjemahkan pengetahuan menuju kebijakan.
Fakta lainnya adalah kecenderungan kejadian bencana yang meliputi beberapa daerah kota atau kabupaten. Penanganan bencana membutuhkan kerja bersama yang sinergi antar daerah. Dalam konteks banjir jabodetabek pada awal tahun 2020, kerjasama bagian daerah aliran sungai hilir haruslah sinergi dengan bagian hulu. Penataan ruang dan upaya penegakan hukum harus menjadi ‘panglima’, tentunya penataan ruang yang sudah berbasis risiko bencana. Diperlukan evaluasi yang menyeluruh perihal sejauh mana analisa risiko bencana telah menjadi pijakan penyusunan rencana tata ruang yang baik.
Hal penting lainnya adalah terkait penyiapan generasi tangguh bencana, dimulai dari lingkup terkecil: desa, sekolah, dan keluarga. Narasi ketangguhan bencana dalam sektor pendidikan usia dini dan gerakan komunitas lokal harus dibangun dengan baik. Peningkatan literasi publik terhadap dampak perubahan iklim dan kelestarian lingkungan sudah makin membaik. Sudah ada generasi militan, seperti Greta Thunberg yang mau memperjuangkan hak-hak generasi mendatang untuk dapat menikmati bumi dengan kualitas yang sama seperti para pendahulunya.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran lingkungan, literasi terkait kebencanaan juga harus dimulai di level keluarga, sebagai nukleus peradaban. Ibu dan anak bertindak sebagai agen perubah bagi komunitas dan lingkungannya. Perlu dipahami bersama bahwa membangun kesadaran jutaan keluarga di Indonesia bukanlah beban kerja satu institusi saja. Dibutuhkan kolaborasi dengan para pakar pendidikan usia dini, akademisi/peneliti, media, dan LSM bahkan pihak swasta melalui dana pemberdayaan komunitas-nya (CSR).
Untuk pembiayaan urusan kebencanaan, perlu dibangun kolaborasi dan inovasi sumber pembiayaan dengan spektrum luas, baik melalui hibah dunia internasional, komitmen kemitraan pemerintah daerah, dana CSR BUMN/Swasta hingga dana umat/jemaat yang dikelola oleh lembaga berbasis keagamaan. Idenya adalah membentuk dana abadi siap pakai yang tidak lagi membebankan APBN. Hal ini dapat dikelola professional oleh sebuah lembaga/unit kerja lintas K/L yang kredibel dan transparan dengan personel lintas profesi dan keahlian. Kawan-kawan dari lembaga non profit dan think tank akar rumput dapat turut serta dilibatkan mengisi kegiatan pendidikan, kesiap-siagaan, pencegahan dan pemberdayaan merefer langsung pada kebutuhan riil komunitas.
Penutup
Tujuan jangka panjang bidang kebencanaan bukan sekadar lagi mengurangi risiko bencana, namun kebutuhan untuk membangun sebuah bangsa yang semakin tangguh terhadap ancaman bencana (resilient nation). Bencana adalah peringatan yang memaksa kita untuk terus memeriksa, menilai, dan mengevaluasi apakah pembangunan telah berjalan dalam koridor kearifan alam dan keseimbangan di antara keduanya. Pada akhirnya, bencana menjadi barometer nyata yang menunjukkan kepada kita seberapa tangguh Indonesia sebagai sebuah bangsa. Mari kolabrasi untuk negeri, berjejaring tanpa ‘tapi’.
*Penulis adalah Doktor bidang Tata Kelola Kebencanaan (Disaster Governance) University of Leeds, UK. Penggagas forum diskusi kebencanaan Indonesia Disaster Research Network, dan saat ini masih tercatat sebagai Perencana bidang Kebencanaan di BAPPENAS.
No comments:
Post a Comment